Surabaya – Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya melalui Badan Penanggulangan Bencana daerah (BPBD) bersama Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), melakukan deteksi dini bencana gempa bumi dengan survei mikrozonasi (kerentanan seismik). Deteksi dini dengan survei mikrozonasi ini, bertujuan untuk mengantisipasi dampak dari gempa bumi.
BPBD Kota Surabaya bersama BMKG Pusat dan BMKG daerah melakukan survei mikrozonasi mulai dari 28 Februari hingga 8 Maret 2023 mendatang. Selain untuk mendeteksi dini gempa bumi, juga untuk melengkapi melengkapi data survei mikroorganisme tahun 2020.
Fungsional Madya Pusat Seismologi Teknik Geofisika Potensial dan Tanda Waktu Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Ariska Rudianto mengatakan, mikrozonasi ini adalah untuk mengidentifikasi faktor kerentanan wilayah terhadap bahaya gempa bumi di Kota Surabaya. Kajian yang dilakukan oleh BMKG pusat diantaranya, mendeteksi rata-rata gelombang geser hingga kedalaman 30 meter, estimasi kedalaman (engineering bedrock), periode dominan tanah, mendeteksi informasi indeks kerentanan seismik dan skala regang geser tanah (ground shear strain).
“Hasil dari kajian ini dapat dimanfaatkan untuk kepentingan penyusunan rencana tata ruang di wilayah setempat, seperti perumusan peraturan, dan perundang-undangan terkait perencanaan pembangunan infrastruktur yang berwawasan mitigasi bencana,” kata Ariska, saat konferensi pers di kantor Dinas Komunikasi dan Informatika (Dinkominfo) Kota Surabaya, Senin (6/3/2023).
Dalam kesempatan ini, pria yang akrab disapa Aris itu menyebutkan, pada tahun 2020 BMKG melalui Pusat Seismologi Teknik Geofisika Potensial dan Tanda Waktu telah melakukan kajian mikrozonasi di Kota Surabaya. Kajian itu dilakukan dengan cara pengukuran parameter kecepatan rata-rata gelombang geser.
Pengukuran tersebut dilakukan di 123 titik lokasi dengan kedalam 30 meter, sedangkan pengukuran mikrometer dilakukan di 102 titik, dan pengukuran estimasi kedalaman dilakukan di 8 titik lokasi. Hasil dari kajian tersebut, Aris menjelaskan, secara umum menunjukkan bahwa berdasarkan parameter klasifikasi, jenis tanah dengan kedalaman 30 meter di Surabaya didominasi oleh tanah lunak (SE), meskipun di beberapa titik lokasi teridentifikasi memiliki klasifikasi tanah sedang (SD), dan tanah keras (SC).
“Estimasi kedalaman batuan dasar teridentifikasi pada kedalaman 304 – 739 meter, periode dominan tanah teridentifikasi pada nilai periode antara 0,259 detik hingga 3,683 detik. Sedangkan untuk hasil analisis indeks kerentanan seismik dan regang geser tanah, di Surabaya menunjukkan hasil bervariasi dari indeks tingkat rendah hingga tinggi,” jelas Aris.
Di tahun 2023, BMKG akan kembali melaksanakan kajian mikrozonasi di wilayah Kota Surabaya. Rencananya kajian itu dilakukan di 48 titik lokasi pengukuran baru, penambahan pengukuran mikrometer ada di 97 titik lokasi, sedangkan pengukuran estimasi kedalaman berada di 9 titik lokasi pengukuran baru.
Bukan hanya itu, Aris menambahkan, pada tahun ini BKMG pusat juga akan melakukan kajian pengukuran parameter anomali percepatan gravitasi di 400 titik, yang tersebar di seluruh wilayah Kota Surabaya. Kajian itu dilakukan pada bangunan hotel, rumah sakit hingga perguruan tinggi di masing-masing wilayah utara, barat, selatan, tengah dan timur Surabaya.
“Kami harap hasil kajian dan evaluasi kerentanan bangunan itu nanti bisa menjadi dasar bahan masukan serta informasi, baik itu untuk pemerintah daerah maupun pusat,” tambahnya.
Sementara itu Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Surabaya Eddy Christijanto menyampaikan, langkah mitigasi bencana gempa yang dilakukan oleh pemkot ada 3. Diantaranya adalah, menerapkan aturan atau larangan mendirikan bangunan di kawasan rawan bencana, atau tanah lunak.
“Salah satunya di kawasan mangrove, kontur tanahnya itu lunak. Maka dari itu rencana tata ruang di Surabaya harus disiplin dan tidak boleh ada bangunan di tanah berkontur lunak,” Eddy menyampaikan.
Yang kedua, pemkot mengatur tentang aturan konstruksi bangunan. Di dalam aturan itu, akan dijelaskan berbagai persyaratan, mulai dari arsitekturnya, bahan baku, hingga tinggi maksimal bangunannya akan diatur. Yang ketiga, adalah edukasi mengenai mitigasi bencana gempa bumi kepada stakeholder dan masyarakat.
“Pemkot melalui BPBD Surabaya telah memberikan petunjuk arah di dalam bangunan, sehingga ketika ada gempa masyarakat akan tahu harus berbuat apa dan keluar melalui jalur mana. Selain itu, kami juga membuat video animasi mitigasi tanggap bencana gempa,” papar Eddy.
Dengan tiga langkah itu, Eddy berharap, dapat meminimalisir dampak dari bencana gempa bumi, jika sewaktu-waktu terjadi di Kota Surabaya.
“Ketika tiga hal itu diterapkan secara disiplin oleh pemerintah, stakeholder, dan masyarakat, maka dampak dari bencana gempa bumi dapat minimalisir dan kita waspadai,” pungkasnya. (*)