Surabaya – Polemik Perwali Nomer 33 tahun 2020 atas perubahan Perwali Nomer 28 tahun 2020 Tentang Pedoman Tatanan Normal Baru pada kondisi pandemi corona virus disease 2019 (covid-19) di kota surabaya.
Perwali 33 tahun 2020 di sejumlah pasal menjadi sorotan dari berbagai kalangan hingga terjadi aksi masa turun ke jalan menuntut merevisi bahkan mencabut perwali 33 tersebut.
“Saya melihat beberapa aksi kemarin hingga sekarang banyak beberapa pihak kurang memahami tentang Peraturan Walikota (Perwali 28 dan 33) tahun 2020,” ujar A. Hermas Thony Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya. Rabu (05/08/2020).
Di dalam Perwali 28 dan 33, kata Penasehat Fraksi Gerindra ini, menilai sangat jelas bahwa yang diatur untuk boleh buka ditengah pandemi ada beberapa hal diantaranya Destinasi Pariwisata.
“Pengertian Destinasi Pariwisata ini dimaknai keliru oleh banyak pihaknya bahwa sesuatu aturan itu tidak mesti harus menjelaskan secara eksplisid,” kata Thony.
Destinasi Pariwisata, menurut ia, sebuah makna, pengertian atau penyebutan secara luas tentang hal terkait kepariwisataan, dan destinasi pariwisata kalau menurut Perda 23 tahun 2012 sudah dijelaskan.
“Destinasi wisata adalah kawasan geografis yang berada didalam satu atau lebih wilayah admistratif didalamnya terdapat daya tarik wisata,” ungkap Thony.
Ia mencontohkan, ada fasilitas umum, ada fasilitas pariwisata, ada akses sibilitas serta masyarakat yang saling terkait dan melengkapi terwujudnya kepariwisataan, sedangkan RHU di pasal 1 (10) dari Perda 23 tahun 2012 menurut ia sangat jelas.
“Menurut saya, RHU masuk bagian daripada fasilitas pariwisata, dan penggunaan walikota dengan istilah destinasi pariwisata, sehingga menurut saya adalah bukan deskriminasi RHU,” kata Thony.
Justru, ia menilai memberikan ruang seluas luasnya kepada baik para pengelola, pelaku atau masyarakat hinggga pengunjung di tempat rumah hiburan umum untuk melakukan kegiatan bukan untuk pembatasannya.
“Tetapu justru sebaliknya berikan ruang seluas luasnya,” tegas Thony.
Tetapi, ia menjelaskan, di dalam pelaksanaannya muncul tafsir salah dimaknai bahwa RHU tidak boleh buka dan ini menurut ia sangat keliru dan dimohon dibaca kembali didalam ketentuan.
“Saya sudah membuka dan membaca secara teliti tentang semua aturan aturan (Perwali) ini,” papar Thony.
Di dalam pasal 25 a (1) tertuang di dalam Perwali 33 tahun 2020, ia menjabarkan, disebutkan bahwa pembatasan aktifitas diluar rumah sekali lagi di luar rumah dilaksanakan mulai pukul 22.00 wib.
“Sedangan pengelola, karyawan dan pengunjung RHU itu di luar rumah atau gedung atau sebaliknya di dalam gedung atau rumah ? ,’ tanya Thony.
Kalau diluar gedung atau rumah (RHU), menurut ia, tidak diperbolehkan lebih dari jam 22.00 wib, tetapi, kata ia, kalau dilaksanakan di dalam gedung atau rumah (RHU).
“Artinya di tafsirkan boleh (buka) dan disini sangat jelas,” kata Thony.
Kalau meributkan tentang apa itu rumah, ia meminta tolong dibuka kembali kamus besar bahasa indonesia yang sudah disebutkan, rumah itu termasuk tempat tinggal dan kedua termasuk bangunan gedung gedung.
“Sedangkan RHU itu didalam rumah atau gedung, atau diluar rumah atau gedung ?,” tanya kembali Thony.
Kalau (Perwali 33) diterapkan kepada RHU tidak boleh buka, menurut ia, sangat keliru dan ia memohon kepada Gugud Tugas, Satpol PP termasuk dinas terkait untuk membaca kembali dengan seksama.
“Kami minta pemkot teliti kembali karena kami sudah mengkaji secara komprehensif mulai dari Perda hingga sampai Perwali yang diterbitkan oleh Pemerintah Kota dan kami melihat (Perwali) ini pas,” kata Thony.
Namun, kata ia, perda (23/2012) ditafsirkan secara salah oleh Gugus Tugas maupun satpol PP serta pihak pihak yang terkait, akhirnya memberikan larangan kepada mereka terkena pembatasan jam padahal sebetulnya tidak.
“Orang bersepeda diluar kalau memang dia tujuannya untuk main main itu yang melanggar, tetapi ternyata dibebaskan kalau kita ansi kepada ini,” kata Thony.
Tetapi persoalan lain yang bisa ditangkap, ia mengatakan, bahwa RHU di dalam ruang karaoke juga sudah diatur di dalam perwali (28) baik pengelola, karyawan maupun pengunjung sudah diatur.
“Di perwali 28 tahun 2020 sudah diatur semuannya bagi pengelola wajib menyusun protokoler kesehatan,” tutur Thony.
Ia mencontohkan, seperti, karyawan memakai masker, apabila diperlukan menggunakan face shield, dan sarung tangan dalam memberikan pelayanan kepada pengunjung yang tertuang di pasal 20 (3) sampai pada terakhir.
“Jadi kewajiban pengelola, karyawan dan pengunjung sudah diatur dengan jelas,” kata Thony.
Meski demikian, ia menegaskan, yang terpenting pelaksanaan peraturan sebagaimana yang sudah diatur di dalam pasal 20 dilaksanakan, maka menurut ia selesai sudah.
“Kalau ini sudah dilaksanakan sudah tidak ada masalah, tetapi kenapa pemerintah kota menambah nambahi di perwali ini,” pungkasnya.
Karena itu, ia mengaku siap dikonfrontir untuk berdiskusi dan debat bahkan dipersilahkan datang menemui dirinya sehingga akan ditunjukan semuanya tentang (Perwali) ini.
“Saya siap dikonfrontir dan diskusi akan saya jelaskan semuanya,” tutup Thony. (irw)