Jakarta – Pertumbuhan teknologi informasi melalui internet menciptakan lebih banyak kesempatan komersial bagi pelaku dan pengguna eksploitasi seksual secara online untuk memfasilitasi pengembangan dan memperluas jangkauan jaringan distribusi eksploitasi seksual dan pornografi pada anak.
Hal ini dibutuhkan komitmen dan aksi nyata dari seluruh lapisan masyarakat serta Kementerian dan Lembaga untuk meminimalisir dampak negatif dari konten digital dan media, serta mengaplikasikan bentuk pencegahan, penyediaan layanan bagi anak korban dan pelaku sampai kepada aspek penegakkan hukumnya.
“Dari data dan fakta yang ada, tidak ada lagi daerah yang bebas atau steril dari isu kejahatan terhadap anak, baik yang disebabkan oleh pornografi online, prostitusi online, ataupun cybercrime,” Ujar Plt. Deputi Perlindungan Anak Kementerian PPPA, Lies Rosdianty pada Konferensi Safer Internet Day dengan tema ”Tem@n Anak (Internet Aman untuk Anak) “
Lies mengatakan, Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh Kementerian PPPA bekerjasama dengan Katapedia, terdapat 63.066 paparan pornografi melalui Google, Instagram dan news online lainnya. Belum lagi paparan pornografi melalui buku bacaan seperti komik dan buku cerita yang memasukkan unsur pornografi melalui gambar,”Katanya.
Lies Rosdianty menambahkan bahwa peluang terjadinya kejahatan terhadap anak di bidang pornografi oleh kalangan predator dan pemangsa anak semakin besar karena berdasarkan data dari Google Indonesia dan Dialy Social, Indonesia menempati peringkat 6 pengguna media sosial terbanyak di dunia dan jumlah pengguna aktif ponsel yang telah mencapai 281,9 juta orang,” Pungkasnya,
Sementara, Asisten Deputi Perlindungan Anak dalam Situasi Darurat dan Pornografi Kementerian PPPA, Valentina Gintings mengatakan bahwa anak-anak yang menggunakan internet dalam kehidupan sehari-hari berisiko terhadap eksploitasi seksual. Teknologi informasi dan internet digunakan oleh para pelaku eksploitasi seks anak untuk dapat melakukan kejahatan seksual terhadap anak-anak baik secara online maupun langsung.
“Kejahatan seksual terhadap anak semacam ini meliputi pelecehan seksual dan eksploitasi yang terkait dengan prostitusi anak dan perdagangan anak untuk tujuan seksual. Kegunaannya yang paling nyata adalah untuk mendorong gairah sex dan kepuasan. Pada tingkat masyarakat, eksploitasi seksual terhadap anak secara online, baik melalui gambaran nyata atau gambaran simulasi anak, dapat menumbuhkan pelecehan seksual dan eksploitasi anak,” papar Valentina.
Banyaknya kasus pornografi dan eksploitasi terhadap anak, baik akibat jaringan online maupun kondisi nyata secara offline, mengharuskan kita untuk bekerjasama melakukan pencegahan dan penanganan baik bagi korban maupun pelaku anak.
“Konferensi Safer Internet Day tentunya diharapkan dapat meningkatkan komitmen dan mendorong Kementerian atau Lembaga serta masyarakat guna menghapus dampak buruk pornografi online dan offline. Kami juga mengapresiasi usaha ECPAT (Ending Sexual Exploitation of Children) Indonesia dan Google Indonesia dalam memberikan pencerahan, inspirasi, inovasi dan berkontribusi dalam mewujudkan perlindungan anak secara lebih nyata dari kondisi rentan pornografi,” tutup Lies Rosdianty. (red)