Batu Malang – Kantor Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Regional 4 Jawa Timur menggelar Evaluasi Kinerja dan Capacity Building BPRS periode Semester I tahun 2019 mengusung tema “Meningkatkan Daya Saing BPRS Melalui Inovasi dan Sinergi di Era Revolusi Industri 4.0”.
Dalam evaluasi kinerja dan Capacity Building BPRS merupakan agenda rutin setiap tahun ini. Dihadiri oleh Pemegang Saham, Direksi, Komisaris dan Dewan Pengawas Syariah dari 27 BPRS Se-Jawa Timur dan ini merupakan salah satu wujud konkrit concern OJK terhadap perkembangan industri BPRS di Provinsi Jawa Timur.
Dalam kegiatan ini, OJK memberikan pemaparan mengenai perkembangan kinerja BPRS sampai dengan triwulan I tahun 2019 serta melakukan capacity building mengenai penerapan GCG dan Manajemen Risiko pada perbankan syariah serta teknik pengawasan prinsip syariah dengan nara sumber ahli di bidangnya, diantaranya Tantri Indrawati (Direktur Kepatuhan BCA Syariah) dan Prof. Jaih Mubarok (Wakil Ketua Badan Pelaksana Harian Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia).
Kepala OJK Regional 4 Jawa Timur, Heru Cahyono menyampaikan, bahwa tantangan perekonomian Indonesia ke depan masih tergolong cukup tinggi, seiring dengan ketidakpastian ekonomi global yang terus berlanjut dan dipengaruhi oleh meningkatnya tensi perang dagang (trade war) antara Amerika dan Tiongkok, pelemahan pertumbuhan ekonomi global serta peningkatan tensi geo politik, ditengah dinamika global, ekonomi Indonesia masih tumbuh positif yang ditopang oleh konsumsi.
“Pertumbuhan ekonomi tahun 2019 diproyeksikan 5,2 % (yoy) dan pada triwulan I tahun 2019 terealisasi 5,07 % (yoy), sementara inflasi terjaga di median 3,5% (yoy),” ujar Heru Cahyono, saat memberikan sambutannya, Senin (24/06/2019) di Hotel Golden Tulip Batu Malang jawa timur
Selain itu, Ia mengatakan, Indonesia dinilai positif di komunitas global. Rating investment Indonesia cukup baik dengan daya saing global yang terus meningkat, dimana S&P pada akhir Mei 2019 menaikkan rating Indonesia menjadi “BBB” dengan outlook stabil.
“Ekonomi Jawa Timur pada triwulan I – 2019 tumbuh 5,51% (yoy) lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan nasional dengan tingkat inflasi sebesar 5,07 % (yoy) lebih rendah dibandingkan inflasi nasional,” jelasnya.
Sejalan dengan hal tersebut, Ia menjelaskan, sektor jasa keuangan di Jawa Timur juga mencatatkan kinerja yang positif, tercermin dari peningkatan volume usaha perbankan syariah sebesar 7,38% (yoy) yang ditopang oleh pertumbuhan DPK sebesar 14,5 % (yoy) dan kredit/pembiayaan 7,94 % (yoy).
”Diantara kinerja positif perbankan Jawa Timur, BPRS mampu menunjukkan eksistensinya dengan mencatatkan pertumbuhan volume usaha 8,26% (yoy), DPK 11,05 % (yoy) dan Pembiayaan 21,97% (yoy),” paparnya.
Pertumbuhan tersebut, Ia menerangkan, jauh lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan perbankan secara keseluruhan di Jawa Timur, Sehingga menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat Jawa Timur terhadap perbankan syariah dan khususnya BPRS mengalami peningkatan yang signifikan.
Meski demikian, Lanjut Ia mengatakan, perbankan syariah di Jawa Timur harus lebih berupaya meningkatkan prinsip kehati-hatian dalam menyalurkan pembiayaan, mengingat risiko kredit perbankan syariah di Jawa Timur cenderung meningkat secara signifikan dengan rasio NPF pada bulan Mei tahun 2019 sebesar 5,16%. Sebagai bagian dari sistem keuangan di Indonesia, industri perbankan syariah khususnya BPRS tidak lepas dari berbagai tantangan yang dihadapi.
“Tantangan dan tingkat kompetisi yang dihadapi oleh industri BPR/S saat ini cenderung semakin ketat dengan berkembangnya perusahaan Fintech, Lembaga Keuangan Mikro (LKM), serta layanan LAKU PANDAI dan program KUR dengan bunga 7 %,” katanya.
Untuk menjawab tantangan tersebut, Pihaknya, menekankan bahwa BPRS di Jawa Timur harus mampu lebih adaptif dan kreatif dalam menyusun berbagai strategi bisnis, baik strategi dalam menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat maupun strategi dalam menjalankan kegiatan operasional bank se-efektif dan se-efisien mungkin.
“Revolusi industri 4.0 telah merubah paradigma masyarakat dunia dan banyak menawarkan peluang bagi perbankan dan hal tersebut harus ditangkap oleh BPRS,” ungkapnya.
Oleh karena itu, Pihaknya berharap agar pengembangan strategi bisnis yang dilakukan oleh BPRS di Jawa Timur bukan hanya berfokus pada produk yang dipasarkan (product based) namun bergeser (shifting) pada ide-ide untuk melakukan kolaborasi mengembangkan platform bersama (platform based),
“Baik dengan sesama BPRS dalam satu industri, maupun berkolaborasi dengan Bank Umum Syariah atau lembaga jasa keuangan syariah lainnya seperti asuransi syariah, fintech syariah dan LKM Syariah,” imbuhnya.
OJK Kantor Regional 4 Jawa Timur selalu mendorong dan mendukung upaya- upaya sinergi dalam pengembangan industri keuangan syariah yang diwujudkan dalam bentuk peluncuran tabungan berencana gerakan menabung milenial (Tabungan Gaul iB) pada tanggal 21 Mei 2019 di Hotel JW Marriot Surabaya.
Tabungan yang digagas oleh Kantor OJK Regional 4 Jawa Timur dan dikembangkan bersama dengan ASBISINDO Kompartemen BPRS Jawa Timur ini merupakan produk simpanan berbasis digital banking yang spesifik dipasarkan oleh BPRS di Jawa Timur untuk segmen milenial khususnya pelajar SLTA dan mahasiswa.
Selain itu, OJK Kantor Regional 4 Jawa Timur juga meluncurkan APEX BPRS – Bank Jatim Syariah. Lembaga APEX diharapkan dapat menjadi pooling of funds untuk membantu BPRS di Jawa Timur mengatasi kesulitan likuiditas karena mismatch, menjadi wholesale financing BPRS, dengan menyediakan pembiayaan linkage serta pembiayaan dana bergulir, menjadi clearing house untuk keperluan payment system BPRS dengan menggunakan Jatim Electronic Transfer System (JETS) serta memberikan pelatihan dan pendampingan kepada BPRS.
Pihaknya juga menyampaikan concern mengenai kesiapan BPRS dalam mengimplementasikan regulasi mengenai tata kelola, manajemen risiko, fungsi kepatuhan dan fungsi audit intern. BPRS didorong untuk segera memenuhi kebutuhan SDM, menyusun kebijakan dan prosedur serta meningkatkan kapasitas infrastruktur teknologi informasi. Selanjutnya terkait dengan pentingnya modal bank sebagai risk buffer dan pemenuhan ketentuan permodalan,
“Kami berharap agar BPRS dapat mengantisipasi dan mengupayakan sejak dini kewajiban pemenuhan modal inti minimum yang harus dipenuhi pada akhir tahun 2020, terutama bagi BPRS dengan modal inti kurang dari Rp 3 miliar dan Rp 6 miliar. (irw)