Surabaya - BSO – Guna meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, Komisi C DPRD Surabaya dengan Bappeko Surabaya bertemu dan membahas soal rencana penerapan Bus Rapit Transit model Bus (Trans Surabaya) dengan model Bus Low Floor di kawasan MERR (Jl. Ir H. Soekarno-Hatta sampai Jl. Kenjeran). Perkiraan beroperasinya sekitar pertengahan tahun 2017.
Anggota Komisi C DPRD Surabaya Vinsensius Awey anggota mengatakan, Bahwa panjang rute (berangkat) sepanjang 10.58 km, dan panjang rute (kembali) sepanjang 11.49 km, sementara waktu tempuh (pulang-pergi) diperkitrakan 110 menit.“Jam operasional 05.00 – 22.00 wib, dengan sistem Headway (menit) 20 menit.
“jumlah armada yang disiapkan sebanyak 8 unit, dengan rincian 6 unit dioperasikan, sementara yang 2 unit untuk cadangan,” ucapnya, Rabu (07/12/2016).
Hedway yang dimaksud adalah bus yang telah sampai di salah satu halte diharuskan berangkat menuju halte berikutnya dengan durasi 20 menit, yang kemudian posisinya digantikan oleh bus berikut dan seterusnya.Awey menjelaskan, ada tiga hal yang melatarbelakangi penerapan Bus Rapit Transit model Bus (Trans Surabaya) di kawasan MERR, antara lain:
1. Untuk mempermudah implementasi restrukturisasi angkutan umum maka diperlukan adanya pilot project.
2. Lokasi Merr dipilih karena lokasi baru dan belum ada rute angkutan umum yg melayani
3. Potensi pembangunan dikawasan baru ini
Politisi asal Parta Nasdem ini menjelaskan, bahwa penerapan Bus Rapit Transit model Bus (Trans Surabaya) di di kawasan MERR (Jl. Ir H. Soekarno-Hatta sampai Jl. Kenjeran), akan membawa dampak positip terhadap potensi kebangkitan perekonomian, pelayanan kesehatan dan pendidikan.
“Dapat dilihat adanya sejumlah bangunan yang menunjukan kebangkitan disana, ada RSIA Kendangsari, RS Unair, RS Haji, Kampus Unair, kampus ITS, Kampus Stikom, Kampus Dharma Cendika, Gedung Koni Surabaya, Galaxy Mall, Pusat Belanja Elektronik Hartono, sejumlah apartemen yg ada saat ini Gunawangsa MERR apartement, Bale Hinggil Apartement,” terangnya.
Sebagai anggota komisi yang membidangi pembangunan, Awey berharap sistem pelayanan Trans Surabaya bisa dikelola secara manajemen transportasi modern, spt halnya menggunakan mesin tiket, pengawasan melalui CC Room, penerapan pelayanan “by the service” oleh bus Trans Surabaya.
“Sehingga tidak perlu ngetem untuk tujuan mengangkut penumpang, karena sopir sudah dibayar berdasarkan jasa pelayanan, artinya berapa jam bekerja dan bukan dibayar berdasarkan jumlah penumpang,” pintanya.
Namun demikian, Awey berharap agar anggaran yang dipakai untuk pembangunan Halte Bus Trans Surabaya ini tidak bersumber dari APBD, tetapi dari CSR.
“Dan ada baiknya pembangunan Halte juga tidak dibiayai dari APBD, namun bisa diambilkan dari CSR-nya para pemilik perusahaan, pengembang sepanjang jalan MERR tsb ataupun perusahaan produk konsumer (consumer good) dengan kompensasi pemasangan iklan pd halte-halte tsb,” harapnya.
Tidak hanya itu, Awey juga mewanti-wanti kepada Pemkot Surabaya sebagai regulator pelaksanaan dan penerapan Bus Rapit Transit model Bus (Trans Surabaya) ini, untuk berhati-hati dalam penentuan titik halte.
“Penentuan titik halte ini sangat rawan dan sangat berpotensi terhadap munculnya prilaku KKN, karena akan sangat banyak pengembanng atau pengusaha di kawasan MERR yang sangat berkepentingan dengan keberadaan titik halte ini,” kritiknya.
Oleh karenanya, Awey berpendapat bahwa untuk menentukan titik halte bus Trans Surabaya ini benar-benar menggunakan pertimbangan “traffic demand management”, bukan berdasarkan kepentingan para pengembang atau pengusaha di kawasan itu untuk menjadikan lokasi halte sebagai bagian dari strategi marketing usahanya, seperti penjualan unit apartemen, unit rumah di kawasan pengembang mereka.
“Penentuan Halte haruslah mengacu kepada kebutuhan (demand). Kebutuhan setempat yang memang merupakan lokasi pelayanan publik atau ruang publik yang ramai dikunjungi, misalnya Kampus, Mall, Rumah Sakit, dllnya, dan kompensasi dari pembangunan Halte hanya berupa pemasangan iklan produk yang mereka pasarkan, bukan turut menentukan titik halte,” Ungkapnya.
Maka, lanjut Awey, penentuan Halte harus dikaji ddengan baik dari segala aspek kajian yang ada, misalnya menghitung seberapa meter kebiasaan masyarakat untuk mampu berjalan kaki.“Perlu dilakukan survey dan kajian yang mendalam, agar Bus Trans Surabaya bisa bebas hambatan, tujuannya agar jangan sampai keberadaan halte justru akan menghambat lajunya perjalanan Bus Trans Surabaya, akibat terlalu banyaknya jumlah halte yang ternyata merupakan titipan para pemegang kepentingan,” tandasnya. (irw/q cox)